Kepo

Melihatmu mengunggah foto baju bayi, membayangkan bagaimana kau sebentar lagi menjadi bapak. Yang, mungkin beberapa pekan pertama masih kagok ketika menimang anakmu.

Setahun atau dua tahun setelahnya barangkali kau akan menjelaskan teori yang njelimet melalui cerita jenaka. Misalnya, soal kenapa DNA itu bisa berubah-ubah. Atau, bagaimana tembakau bukan satu-satunya yang patut dipersalahkan saat ada penyakit menyerang, sebab terdapat jua zat-zat lain dalam lalu lintas tubuh kita di mana pembawanya bisa dari makanan, minuman atau tetek-bengek duniawi lainnya.

Atau, kau akan mengarang fabel, mengganti nama-nama hewan dengan istilah unsur kimia atau nama latin tanaman. Aku turut membayangkan bagaimana kau akan kikuk memulai dongeng pertamamu.

Untuk waktu yang singkat, pernah tergambar di benakku soal mendidik anak bersamamu. Kupikir kau cukup baik untuk mengampu pelajaran agama, sedangkan aku akan berusaha melengkapi di luar itu. Bisa soal musik, memasak--meski agak payah, sastra, atau selera seni lainnya. Aku akan senang menambah kemampuanku bersama anak kita. Pikirku saat itu.

Sedangkan kau, selain soal agama, kan juga lihai dalam eksakta atau ilmu pasti lainnya. Aku sadar melempem soal itu. Maka kupikir kala itu, kita akan menjadi pasangan yang saling melengkapi.

Tapi nyatanya tidak demikian. Aku terlalu banyak bicara dan mungkin juga, membantahmu.

Beberapa kali aku menangkap rasa tak nyaman, diikuti perubahan posisi dudukmu. Kalau sudah begitu, bola matamu akan beralih dariku. Kau akan menekuri layar telepon genggam yang sesungguhnya nihil aktivitas. Aku tahu, kau tak gemar main media sosial semacam facebook, apalagi twitter, lebih-lebih instagram. Maka aku paham betul, setiap kali kau beralih ke teleponmu maka saat itu kau sedang sebal denganku. Atau, menghindariku.

Kalau tidak begitu, kau akan mengajakku bicara bola. Kau tahu aku tak suka bola.
Melihatmu mengunggah foto perlengkapan bayi, warna-warni, membuatku membayangkan raut girangmu bakal mendapat penerus generasi. Kudengar istrimu seorang pengajar. Baguslah. Kau tak perlu repot memelototi buku pedagogi atau tips merawat anak.

Kudengar juga istrimu penurut, perempuan yang setia mendampingi suami, berperilaku manis, kalau jadi ibu rumah tangga maka ia mewarisi segala nilai-nilai kepatutan yang disyaratkan calon mertua. Terdengar sinis ya, aku? Tentu saja, itu karena aku iri tak bisa menjadi perempuan penurut juga lemah lembut.


Kau tak pernah setuju, atau setidak-tidaknya menunjukkan air muka masam tiap kali aku mengajakmu bicara soal makna kebebasan atau, mempertanyakan ulang norma-norma di tengah kita.

Soal anakmu, aku tak tahu, kelak kau akan memerdekakan dia atau sebaliknya. Aku ingin tak peduli, tapi sialnya, aku kepo. Hahaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.