Spontan



The Fratellis menyanyikan Whistle For The Choir dari aplikasi pemutar musik di telepon genggam saya, lagu yang tak begitu melankolik tapi membuat saya menangis, menangis di warung kopi langganan. Mungkin juga karena beberapa tabuhan grup band itu pas dengan nyeri yang saya rasakan. Cengeng betul hidup di kota ini. Lama-lama menyebalkan.


Tampaknya ini hari menjadi waktu yang tepat untuk mengokohkan niat, bahwa, saya tak lagi perlu memikirkan apapun di luar diri saya, dan simbok saya dan, adik saya. Sudah cukup itu.


Kau, juga harus paham, saya tak lagi percaya soal kebahagiaan. Saya lupa sejak kapan tepatnya berhenti memburu kebagiaan, mungkin saat usia 26 atau 27. Saat itu saya sadar, rasa-rasanya kebagiaan selamanya tak bisa dicapai, kesenangan barangkali masih mungkin. Maka itu pula yang bikin saya tak lagi mengucapkan "semoga bahagia" ke lawan bicara.



Saya bisa cerita kapan-kapan soal kebahagiaan versi serat wedhatama atau Zizek atau siapapun juga yang pernah saya dengar, atau tentang kenapa saya berhenti mengimani kebahagiaan. Bahagia, boleh jadi hanya soal cara pandang. Atau apalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.