Bocah Perempuan yang Menulis Puisi
Belasan lampu menggantung seperti duplikasi matahari siang bolong. Tapi bulatan-bulatan itu hanya sebesar bola ubi kopong yang biasa dijual abang-abang di Jalan
Sabang. Bedanya, warna tembaga dari benda bundar itu bisa memantul setelah jatuh ke meja-meja kayu yang baru saja dilap dengan
kain basah.
Beberapa meja masih berkabut.
Anak-anak muda tak peduli pada meja berkabut. Anak-anak muda lebih suka layar cerah yang tak bikin mengantuk.
Deru motor menyalak. Jalanan lengang, mungkin karena itu suara mesin jadi seperti Monas yang menjulang di tengah rumput lapang.
Kota sedang tidak seperti hari-hari kerja. Sejak sore, sebagian orang menyiapkan perayaan Natal.
Kota sedang tidak seperti hari-hari kerja. Sejak sore, sebagian orang menyiapkan perayaan Natal.
Siapa yang tidak kesepian di tengah kota yang sedang
liburan?
Kalimat-kalimat di atas saya tulis saat di warung kopi. Setelah membaca Resep Membuat Jagat Raya yang ditulis Abinaya yang, lalu bikin saya senyum-senyum sendiri sembari terus menyantap mi karet di warung Bang Anas. Dan, lantas menggerakkan saya untuk menggambarkan suasana warung kopi langganan di pusat Jakarta.
Awalnya saya cuma baca blognya Naya, tahu dia meluncurkan buku, tertariklah saya. Buku bikinan bocah kelahiran 2009 itu sudah ingin saya beli jauh-jauh bulan. Tapi karena pemasukan pas-pasan, alhasil sehimpun puisi seharga Rp40.000 itu baru terbeli bulan ini. Xurem.
Membaca karya Naya, mengingatkan, sekaligus mengenalkan saya pada kosakata yang menggugah atau juga tulus.
Mengingatkan karena, sebetulnya perbendaharaan kata Naya, lazim saya jumpa sehari-hari, seringkali diambil dari benda-benda di sekitar. Tapi toh, dekat tak lantas membuat kosakata-kosakata itu mudah dikenali bukan? Alhasil, kalimat yang diramu Naya itu mengingatkan saya, bahwa kadang kita--atau saya--selama ini kerap sibuk mengenali subjek-subjek di kejauhan alih-alih mencermati yang dekat.
Karena itu pulalah selanjutnya, saya juga sebut karya Naya itu mengenalkan. Bahwa misalnya, wafer bisa juga disandingkan atau dimirip-miripkan dengan petak sawah kering. Tak terpikir itu, oleh saya. Tapi rupa-rupanya kan yaa, keduanya memang hampir serupa. Saat baca itu, kening saya mengernyit dan bibir menyungging. Lantas membatin, ya juga ya.
Karena itu pulalah selanjutnya, saya juga sebut karya Naya itu mengenalkan. Bahwa misalnya, wafer bisa juga disandingkan atau dimirip-miripkan dengan petak sawah kering. Tak terpikir itu, oleh saya. Tapi rupa-rupanya kan yaa, keduanya memang hampir serupa. Saat baca itu, kening saya mengernyit dan bibir menyungging. Lantas membatin, ya juga ya.
Ibu membeli wafer
seperti petak sawah yang kering
dan wafer itu dari Inggris.
Atau,
Es krim dicoba oleh ratu, rasanya
enak sekali, tetapi tidak untuk rakyat
hanya para raja, karena mahal harganya.
Juga soal tempe,
... Orang-orang dijajah Belanda
dan mereka miskin dan mereka dipaksa bekerja
dan mereka tidak punya waktu
untuk memancing dan berburu.
Mereka hanya memakan sisa kedelai
dipenuhi jamur lembut seperti salju
Banyak kelakuan di buku Naya yang semacam itu. Tulisan Naya bukan hanya berangkat dari cara dia mengalami keseharian, melainkan juga film yang dia tonton atau buku yang dia nikmati. Saya menemukan puisi mengenai Calon Arang, atau tentang Anne Frank, atau juga atmosfer yang mengingatkan saya pada film The Boy in Striped Pyjamas. Seketika saya merasa telat mengenal semua film dan buku-buku saat usia kepala dua.
Tapi juga, tak semua menggelitik, bagi saya. Ada kalanya saya menemukan Naya seolah kelelahan. Wajar, siapa memang yang tak lelah.
Tapi kesan yang membekas, adalah perasaan terhibur. Tiap kali butuh penghiburan, barangkali saya takkan lupa membuka ulang ini buku. Hahaha. Saya seperti diajak keluyuran sembari dipertemukan dengan kawan baru. Atau, paling tidak, terlibat ngomong-ngomog konyol lah. Terima kasih, Naya.
Komentar
Posting Komentar