Minum Kopi dan Alasan yang Dibuat-buat

Kadang, memilih jenis kopi itu bukan perkara kita — atau dalam hal ini saya — saat itu sedang berhasrat dengan biji kopi tertentu.

Beberapa kali saya menjatuhkan pilihan untuk minum kopi anu atau ini dengan alasan yang tidak masuk akal. Bolehlah disebut, konyol.

Misalnya, pernah suatu ketika, hanya karena saat itu saya sedang ingin ditemani oleh seseorang. Namun orang itu tidak bisa hadir, maka saya pikir tak ada salahnya kalau mengganti absennya orang tersebut dengan memesan kopi kesukaannya. Siapa tahu dengan begitu seolah-olah orang itu hadir. Siapa tahu.

Yang beginian —hadir dan tidak hadir — kan kadang juga soal bagaimana kita mengimani saja.

Nah, lantas jadilah waktu itu, saya mengingat apa kopi kesukaannya. Kemudian meniatkan diri untuk memesan jenis kopi kegemaran orang-yang-sedang-saya-dambakan-hadir-itu.

Malam baru turun di ibukota. Belum lagi lama, baru pukul delapan. Terlalu sore bagi saya untuk kembali ke kamar sewa.

Maka, bulatlah niat mampir ke warung kopi di sekitar Timur Jakarta. Lokasinya, jauh dari jalan utama. Hari itu Jumat, tapi warung kopi ini tak ramai-ramai amat. Dari sembilan blok kursi-meja, hanya dua terisi.

Setelah berpikir dua tiga kali kedipan, saya memutuskan mengambil tempat di bagian timur laut arah mata angin. Rumit? Tentu. Tapi saya tidak minta Anda membayangkan. Saya iseng saja tadi menulis arah itu.

Yang ingin saya ceritakan, belum sampai bokong saya menyentuh kursi, seorang mas-mas sudah menghampiri tempat saya duduk. Tak ada kalimat pembuka. Lelaki seusia tokoh Mondy dalam sinetron Boy Anak Jalanan itu memulai interaksi dengan senyum, diikuti merundukkan sedikit bahunya sejajar dengan saya duduk, lalu menunjukkan buku menu yang, sebetulnya tidak saya baca.

“Hari ini sedia kopi apa saja?”

“Macam-macam, Kak. Flores, Toraja, arabika dan robusta dari Bandung,”

“Apa yang dari Bandung? Aroma?”

“Eng… iya, Kak.. Terus ada Gayo, Kintamani, Jambi, Sidikalang, Solok ...”

Saya pesan satu. Sembari menunggu pesanan datang, saya melihat-lihat layar telepon genggam. Membalas pesan pendek. Lalu mengecek twitter. 15, 20 menit berselang, lelaki-yang-seumuran-Mondy tadi datang lagi, sekarang dengan segelas kopi yang kemudian ia letakkan di meja kayu seluas dua kali nampan.

Seperti layaknya millenials lain, saya memotret gelas berisi kopi itu sebelum kemudian menghidunya, menyecap dan kembali mengingat tujuan utama saya: ngobrol.

Tentu saja, dengan siapa lagi kalau bukan dengan gelas kopi.


Aroma khas biji kopi dan wangi kayu menyergap indra pencium, seakan berjubel memadati rongga hidung. Panas dari air menyentuh lidah saya. Rasa asam campuran buah dan sedikit pahit tinggal di sisi kanan dan kiri indra pengecap.

Selanjutnya, saya tambahkan setengah sendok teh gula pasir ke dalam gelas. Saya mengaduknya, entah untuk apa. Padahal bukannya kalau air masih panas, maka gula pasir akan lebur dengan sendirinya? Ini bagian tidak penting sih.

Hari itu Jumat, masih jauh malam. Belum waktu pulang. Apa boleh bikin, kalau kau tak sanggup temani, di sini masih tinggal kopi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.