Pengakuan
Kutunggu hingga sepertiga malam, kau tak menghubungiku. Selanjutnya,
aku harus rela menerima kenyataan bahwa aku mungkin tak berarti apa-apa.
Setelah perdebatan panjang tentang bagaimana takdir
sekarang, sesuatu yang baru akan terang setelah kejadian, rupanya aku ketagihan
bicara denganmu. Kita bertukar banyak hal.
Pada malam pertemuan tak terencana
itu, aku sempat menyangkal beberapa gagasanmu. Misalnya, kubilang, kita berhak menentukan
hidup kita sendiri. Kau ngotot, semesta sudah mengatur semua. Lantas pertanyaan
lanjutanku, untuk apa kita hidup jika semua sudah ditentukan?
Kau mengurai lebih panjang. Tapi aku betah. Aku juga heran kenapa
kupingku bisa begitu kerasan mendengarmu.
Malam itu seolah aku hanya mendengar percakapanku dan kau.
Padahal ada saut obrolan orang di sekitar tempat kita duduk dan, deru
kendaraan. Berisik sekali. Aku menyadari itu saat kita sama-sama terdiam dengan
pikiran atau mungkin, prasangka masing-masing. Kursi dan meja tak menyisakan
kosong.
Barangkali juga pikiran kita berdua.
Aku tak bisa menghitung siapa yang lebih banyak bicara. Tapi,
aku merasa mulutku terlalu banyak bertanya dan kau menjawab dan, menurutku tak ingin tahu
tentangku. Beberapa kali kau melihat layar telepon genggammu, mengetik sesuatu
di aplikasi pesan instan, atau menggeser layar naik-turun saat kau membuka aplikasi
berbagi gambar.
Kau mungkin tak tahu aku tak suka sikap seperti itu--beralih
ke telepon genggam saat ngobrol sehingga untuk beberapa saat mengabaikan lawan bicaramu. Bukan
hanya denganmu, ini berlaku bagi siapapun. Tapi tentu kau tak perlu tahu atau juga tak ingin tahu. Karena selain ya, tak
penting bagimu, mungkin juga sikap kolotku ini berlebihan. Siapa peduli.
Betapapun begitu, aku heran dengan diriku, kenapa masih saja menunggumu. Kurasa, kau ada benarnya, ada beberapa hal di jagat ini yang di luar kuasa kita.
Komentar
Posting Komentar