Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

Rasa Nomor 87

Balada membaca catatan-catatan lama...  Entah kenapa saya ngerasa akhir-akhir ini tulisan saya agak-agak serius dan tidak menyenangkan. Ya walaupun dari dulu juga serius dan tidak menyenangkan plus membosankan sih. Hihiiihi. Tapi begini, dulu saya suka menulis tentang hujan, tentang cinta tentang gerimis tentang air atau apa yang saya lihat dari jendela, kemudian memaknainya. Mencoba menghubung-hubungkannya. Menggothak-gathukkan satu sama lain.  Ya begitulah. Lucu rasanya mengingat-ingat itu. Apakah mungkin karena usia? Tapi saya masih muda ah, 24. Entahlah. Saya, lupa sih bagaimana mencintai. Terakhir, saya sering sekali menyimpan rindu dalam toples, lemari, atau saya selipkan di buku yang sedang saya baca. Rindu itu untuk cinta. Karena cinta itu membawa rindu, tapi saya jadi bertanya-tanya, mungkinkah kita rindu tanpa rasa cinta sebelumnya. Saya pikir tidak. Karena tidak mungkin saya rindu dengan Ujang ketika saya tak pernah sekalipun bertemu dan berkomunikasi, m...

Rasa Nomor 86

K ekerasan yang diterima buruh migran di Saudi Arabia , kata teman saya, nyaris tak tersentuh oleh Pemerintah negara kita . Dari teman saya yang pernah ke sana, Saudi Arabia, cerita itu mengalir. Buruh Migran yang ada di sana , utamanya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sama sekali tidak mendapatkan akses keluar. Satu-satunya akses mereka adalah buruh Indonesia yang bekerja sebagai supir di sana. Supir-supir itu bebas bergerak karena pekerjaan mereka . Lewat supir, para buruh mengirim uang untuk keluarga atau kadang si sopir menjadi tukang pos penyampai pesan buruh-buruh di sana. Setelah sampai di Arab, dokumen mereka (Buruh migran) ditahan oleh majikannya, sehingga mereka mau tak mau tak bisa kabur, keluar dari negara itu. Pilihan mereka hanya dua, kabur dengan nasib tak jelas alias luntang-lantung atau tetap tinggal dengan penyiksaan majikan. Beberapa orang memilih kabur, tapi tetap saja tak bisa keluar dari Arab. Karena tak satu pun dokumen identitas yang mereka...

Rasa Nomor 85

Tentang Tenaga Kerja Wanita... Sabtu pagi, dua perempuan mengenakan jilbab berwarna cerah, manik-manik keemasan menghiasi pinggiran penutup kepala yang mereka kenakan. Deretan manik itu, entah mengapa, menambah kesan lugu, jauh dari kesan angkuh dan sikap pamer. Dua perempuan yang tampak pasrah itu, duduk di hadapan saya. Mereka, Ratih dan Royah, bekas buruh migran perempuan Indonesia yang sempat mencicipi betapa keras majikannya di Saudi Arabia. Apa yang menyebabkan sejumlah perempuan masih gigih bertolak ke negara-negara lain padahal pemberitaan soal penganiayaan dan tindak kekerasan lain yang menimpa teman sejawatnya telah santer menjadi pemberitaan. Seorang bekas buruh migran, Ratih, begitu ia ingin dipanggil, bercerita, hutang yang membuat tekadnya membulat. Setelah pesta sederhana sunatan anaknya, hutang uang dan emas menjadi alasan yang menguatkan niatnya menjadi Tenaga Kerja Wanita TKW. Satu yang terpikir ketika sejumlah perempuan memutuskan menjadi buruh dan bert...

Rasa Nomor 84

Tuhan, terlampau sayang dengan gadis mungil lagi manis itu. Gendis, sore tadi dipanggil Tuhan, pukul 17.20. Tepat di waktu itu, saya ingat betul sedang melihat arloji, berpikir untuk pulang karena acara yang saya ikuti sudah selesai. Namun tak tepat waktu saya menerima kabar duka itu. Sesiang-sorean telepon genggam saya tidak dapat sinyal. Pukul 18.22 pesan pendek dari kawan saya, Wiwik baru saya terima. Isinya: “Anaknya mas pepi meninggal, sedih :( ” Saya membalasnya, kami berbalasan tentang rasa sedih dan rencana mengunjungi keluarga Gendis. Lalu saya melanjutkan membuka milis tempat saya memburuh. Rupanya sudah banyak pesan berisi ucapan belasungkawa dan doa-doa. Saya baca, satu per satu. Selalu saya amini. Tanpa harus mengenalmu dulu, Nduk. Segala doa kami beriringan untuk damai kepulanganmu. Berkata dan mengulang-ulang teori bahwa Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk kita atau Tuhan punya rencana di balik ini semua atau Tuhan selalu tahu yang paling tepat, adalah ...

Rasa Nomor 83

Namanya Gendis Priscila, anak seorang kawan. Sekarang, Gendis sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur. Ada yang mengganjal saluran empedunya. Saya belum pernah ketemu Gendis, dan belum secara langsung berkenalan dengannya, pun belum main-main dengannya. Tapi saya sudah jatuh cinta dengannya, karena namanya, Gendis. Saya membayangkan anak manis usia dua sedang bermain di teras. Tentu saja perempuan, tentu saja lincah, memainkan botol susu, belum sempurna benar duduknya, mengajak main kedua orangtuanya. Kini, anak manis yang saya bayangkan dan belum pernah saya temui itu sedang berjuang melawan semua sakitnya. Saya, tidak bisa membayangkan bagaimana melawan semuanya dengan keriangan yang ia miliki. Orangtuanya pasti sedih, tapi Gendis, entah kenapa saya yakin sekali jika tak sedikit pun ada kesedihan dalam gadis kecil itu. Keriangan kanak-kanak membuat semuanya larut. Mungkin Gendis menangis, mungkin Gendis merengek, tapi saya percaya itu hanya fitrahnya sebagai g...

Rasa Nomer 82

Gambar
Cita-citaku Setinggi Tanah. Sebuah film besutan sutradara Eugene Panji ini tidak hanya menawarkan sebuah harapan, namun juga mengingatkan. Film ini sempat terhenti dua tahun lamanya lantaran si pemilik ide, Eugene, tidak punya dana yang cukup untuk memulai proses produksi film. Hingga pada akhirnya Danone-Aqua datang sebagai peri yang baik hati dengan tawaran biaya produksi. Alasannya, karena tujuan Eugene dan Aqua ini hampir sama, menyehatkan, membuat masyarakat Indonesia sehat lahir juga batin, begitu kata mbak-mbak manajer Aqua. Keuntungan film ini, kata Eugene akan dipersembahkan untuk anak-anak penderita kanker di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI). Sejumlah artis senior seperti Nina Tamam, Dony Alamsyah, Agus Kuncoro dan Iwuk Tamam juga rela tak dibayar sebagai wujud dukungannya untuk donasi ini. Apa yang terbayang saat pertama kali membaca judul film ini? Kalau saya sih, sudah kebayang: ini pasti jalan ceritanya nggak biasa. Atau mungkin yang kebayang malah pe...

Rasa Nomor 81

~ini cuma keluhan pas 03 September lalu, ndak usah diterusin mbacanya. buat menuh-menuhin blog ae kok. Membayangkan apa yang terjadi besok. Malam, seperti malam-malam sebelumnya, nyamuk dan anak-anak di gang, sama-sama berebut cahaya mbulan. Malam ini bulan penuh. Malam ini, pikiran penuh. Satu per satu datang, menempati tempat yang sama. Jika kamu tak bisa membayangkan, begini ilustrasinya; sebuah gerbong kereta yang mestinya ditempati 50 orang saja, kemudian dari tiap-tiap stasiun datang 25 orang, ada 20 stasiun yang disinggahi. Di stasiun pertama, jumlah penumpang sudah penuh 50, jadi total penumpang dalam kereta hingga tempat tujuan akhir, stasiun ke 21 yakni sekira 550-an. Bisa dibayangkan bagaimana berjejalannya satu gerbong itu. Tiap orang berebut oksigen untuk mengisi rongga di tubuhnya. Malam ini, saya mengalami hal yang sama dengan gerbong kereta dan penumpang. Satu per satu berjejalan memenuhi otak, pikiran dan hati saya. masih diendapkan, belum sepenuhn...

Rasa Nomor 80

Malam itu, Senin, saya masih ingat betul, 24 Oktober 2012. Saya ingin menulis di blog ini lewat telepon genggam saya, namun gagal. Padahal hanya satu kalimat yang ingin saya tulis malam itu, sungguh-sungguh ingin saya tulis: Mendadak, saya mulai tidak percaya dengan apapun juga siapapun kecuali ibu saya.