Rasa Nomor 84
Tuhan, terlampau sayang dengan
gadis mungil lagi manis itu. Gendis, sore tadi dipanggil Tuhan, pukul 17.20. Tepat
di waktu itu, saya ingat betul sedang melihat arloji, berpikir untuk pulang
karena acara yang saya ikuti sudah selesai. Namun tak tepat waktu saya menerima
kabar duka itu. Sesiang-sorean telepon genggam saya tidak dapat sinyal. Pukul
18.22 pesan pendek dari kawan saya, Wiwik baru saya terima. Isinya:
“Anaknya mas pepi meninggal,
sedih :(”
Saya membalasnya, kami berbalasan
tentang rasa sedih dan rencana mengunjungi keluarga Gendis. Lalu saya
melanjutkan membuka milis tempat saya memburuh. Rupanya sudah banyak pesan
berisi ucapan belasungkawa dan doa-doa. Saya baca, satu per satu. Selalu saya
amini. Tanpa harus mengenalmu dulu, Nduk. Segala doa kami beriringan untuk damai
kepulanganmu.
Berkata dan mengulang-ulang teori
bahwa Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk kita atau Tuhan punya rencana di
balik ini semua atau Tuhan selalu tahu yang paling tepat, adalah perkara mudah.
Mengiyakan pernyataan itu juga tak susah, dan tentu sah-sah saja. Tapi soal
kerelaan, menerima sebuah kehilangan itu lain lagi. Saya pernah kehilangan.
Semoga Mas Pepi dan Mba Puput,
orangtua Gendis, diberikan kekuatan yang lebih, juga kerelaan. Gendis Priscila sudah
nyaman dipeluk Tuhan, Mas Pep.. Mba Put..
Komentar
Posting Komentar