Rasa Nomor 85
Tentang Tenaga Kerja Wanita...
Bogor, 15 Juli 2012
Sabtu pagi, dua perempuan mengenakan jilbab berwarna cerah, manik-manik
keemasan menghiasi pinggiran penutup kepala yang mereka kenakan. Deretan manik itu,
entah mengapa, menambah kesan lugu, jauh dari kesan angkuh dan sikap pamer. Dua
perempuan yang tampak pasrah itu, duduk di hadapan saya. Mereka, Ratih dan
Royah, bekas buruh migran perempuan Indonesia yang sempat mencicipi betapa
keras majikannya di Saudi Arabia.
Apa yang menyebabkan sejumlah perempuan masih gigih bertolak ke
negara-negara lain padahal pemberitaan soal penganiayaan dan tindak kekerasan
lain yang menimpa teman sejawatnya telah santer menjadi pemberitaan. Seorang
bekas buruh migran, Ratih, begitu ia ingin dipanggil, bercerita, hutang yang
membuat tekadnya membulat. Setelah pesta sederhana sunatan anaknya, hutang uang
dan emas menjadi alasan yang menguatkan niatnya menjadi Tenaga Kerja Wanita
TKW.
Satu yang terpikir ketika sejumlah perempuan memutuskan menjadi buruh dan
bertolak ke luar negeri, adalah perubahan nasib, adalah hidup makmur, adalah
membahagiakan keluarga mereka, adalah menyelesaikan masalah yang membelit. Namun
yang terjadi seringkali sebaliknya.
Perempuan-perempuan itu tentu tahu, meraup pundi di luar negeri berarti
harus siap dengan segala risikonya. Siap dengan sakit lahir dan batin yang
tentu saja tak mudah diobati. Bukannya tak mendengar dan melihat pemberitaan
soal seringnya penyiksaan dan hilangnya peran negara dalam menangani kekerasan
majikan terhadap tenaga kerja Indonesia/ Wanita (TKI dan TKW). Namun, hidup,
seringkali tak memberi mereka banyak pilihan.
Royah, memutuskan pergi ke Saudi Arabia lantaran tumor ganas yang
menggerogoti anaknya. Royah butuh banyak duit untuk kesembuhan anaknya. Jiwa
seorang ibu yang menumbuhkan keberanian, yang membuat ia lantas membulatkan
tekatnya untuk berangkat.
Sambil menyesap teh dari cangkir putih di tangan kanannya, Royah mengingat,
sepasang matanya seringkali tidak fokus ketika bercerita, kadang juga
tatapannya bukan untuk saya. Ia lebih sering memandang jauh, seperti menjangkau
apa-apa yang pernah ia alami. Setelah meletakkan cangkir di sampingnya, ia
menunjukkan mata kanannya.
“Yang ini, yang satunya juga uda burem sekarang, uda gak jelas baca yasin.
Sebelum diambil darahnya sakit, ada yang ngganjal.”
“Tapi kelihatan sudah normal ya, Teh? Nggak kelihatan.” kata saya yang
melihat bola mata jernih itu kelihatan
baik-baik saja. Kemudian ia bilang, gumpalan darah sudah diangkat setelah sekembalinya
ke Indonesia. Kini yang berfungsi hanya mata kirinya. Royah mengaku kesulitan
mengaji.
Berbeda dengan Royah, Ratih terlihat kesulitan berjalan. Kakinya tak bisa
normal kembali, lantaran jatuh dari lantai lima apartemen majikannya. Waktu itu
ia kabur. Tulang kakinya, entah yang bagian mana tepatnya, menembus kulit
telapak kaki. Butuh pemulihan sekira lima tahun, dan sekarang pun, sudah lepas
lima tahun, kakinya masih belum pulih betul.
Di balik sendu sepasang mata itu, tersimpan kekuatan maha, yang mampu
menanggung beban tahunan. Lahir sekaligus batin. Saya, tak bisa membayangkan
bagaimana perihnya mata ketika dicolok dengan telunjuk orang waras. Saya, juga
tidak bisa merasakan bagaimana ngilunya terjatuh dari lantai lima apartemen
majikan. Saya, sepenuhnya tak bisa benar-benar ikut merasakan, saya hanya bisa
membagi perasaan saya.
Berusaha menghayati apa yang mereka rasakan. Itupun jika saya tak salah menafsirkan
sakit mereka, bisa saja saya salah, bisa saja yang mereka rasakan jauh lebih sakit dari
apa yang saya sangkakan. Namun, salah jika kita--atau saya saja mungkin--iba kepada mereka. Mereka, para buruh migran itu,
sesungguhnya jauh lebih hebat dari kita.
Bogor, 15 Juli 2012
:((
BalasHapus