Rasa Nomor 85

Tentang Tenaga Kerja Wanita...


Sabtu pagi, dua perempuan mengenakan jilbab berwarna cerah, manik-manik keemasan menghiasi pinggiran penutup kepala yang mereka kenakan. Deretan manik itu, entah mengapa, menambah kesan lugu, jauh dari kesan angkuh dan sikap pamer. Dua perempuan yang tampak pasrah itu, duduk di hadapan saya. Mereka, Ratih dan Royah, bekas buruh migran perempuan Indonesia yang sempat mencicipi betapa keras majikannya di Saudi Arabia.

Apa yang menyebabkan sejumlah perempuan masih gigih bertolak ke negara-negara lain padahal pemberitaan soal penganiayaan dan tindak kekerasan lain yang menimpa teman sejawatnya telah santer menjadi pemberitaan. Seorang bekas buruh migran, Ratih, begitu ia ingin dipanggil, bercerita, hutang yang membuat tekadnya membulat. Setelah pesta sederhana sunatan anaknya, hutang uang dan emas menjadi alasan yang menguatkan niatnya menjadi Tenaga Kerja Wanita TKW.

Satu yang terpikir ketika sejumlah perempuan memutuskan menjadi buruh dan bertolak ke luar negeri, adalah perubahan nasib, adalah hidup makmur, adalah membahagiakan keluarga mereka, adalah menyelesaikan masalah yang membelit. Namun yang terjadi seringkali sebaliknya.

Perempuan-perempuan itu tentu tahu, meraup pundi di luar negeri berarti harus siap dengan segala risikonya. Siap dengan sakit lahir dan batin yang tentu saja tak mudah diobati. Bukannya tak mendengar dan melihat pemberitaan soal seringnya penyiksaan dan hilangnya peran negara dalam menangani kekerasan majikan terhadap tenaga kerja Indonesia/ Wanita (TKI dan TKW). Namun, hidup, seringkali tak memberi mereka banyak pilihan.

Royah, memutuskan pergi ke Saudi Arabia lantaran tumor ganas yang menggerogoti anaknya. Royah butuh banyak duit untuk kesembuhan anaknya. Jiwa seorang ibu yang menumbuhkan keberanian, yang membuat ia lantas membulatkan tekatnya untuk berangkat.

Sambil menyesap teh dari cangkir putih di tangan kanannya, Royah mengingat, sepasang matanya seringkali tidak fokus ketika bercerita, kadang juga tatapannya bukan untuk saya. Ia lebih sering memandang jauh, seperti menjangkau apa-apa yang pernah ia alami. Setelah meletakkan cangkir di sampingnya, ia menunjukkan mata kanannya.

“Yang ini, yang satunya juga uda burem sekarang, uda gak jelas baca yasin. Sebelum diambil darahnya sakit, ada yang ngganjal.”

“Tapi kelihatan sudah normal ya, Teh? Nggak kelihatan.” kata saya yang melihat bola mata jernih  itu kelihatan baik-baik saja. Kemudian ia bilang, gumpalan darah sudah diangkat setelah sekembalinya ke Indonesia. Kini yang berfungsi hanya mata kirinya. Royah mengaku kesulitan mengaji.

Berbeda dengan Royah, Ratih terlihat kesulitan berjalan. Kakinya tak bisa normal kembali, lantaran jatuh dari lantai lima apartemen majikannya. Waktu itu ia kabur. Tulang kakinya, entah yang bagian mana tepatnya, menembus kulit telapak kaki. Butuh pemulihan sekira lima tahun, dan sekarang pun, sudah lepas lima tahun, kakinya masih belum pulih betul.

Di balik sendu sepasang mata itu, tersimpan kekuatan maha, yang mampu menanggung beban tahunan. Lahir sekaligus batin. Saya, tak bisa membayangkan bagaimana perihnya mata ketika dicolok dengan telunjuk orang waras. Saya, juga tidak bisa merasakan bagaimana ngilunya terjatuh dari lantai lima apartemen majikan. Saya, sepenuhnya tak bisa benar-benar ikut merasakan, saya hanya bisa membagi perasaan saya.  

Berusaha menghayati apa yang mereka rasakan. Itupun jika saya tak salah menafsirkan sakit mereka, bisa saja saya salah, bisa saja yang mereka rasakan jauh lebih sakit dari apa yang saya sangkakan. Namun, salah jika kita--atau saya saja mungkin--iba kepada mereka. Mereka, para buruh migran itu, sesungguhnya jauh lebih hebat dari kita.



Bogor, 15 Juli 2012

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.