Rasa Nomer 82


Cita-citaku Setinggi Tanah. Sebuah film besutan sutradara Eugene Panji ini tidak hanya menawarkan sebuah harapan, namun juga mengingatkan. Film ini sempat terhenti dua tahun lamanya lantaran si pemilik ide, Eugene, tidak punya dana yang cukup untuk memulai proses produksi film. Hingga pada akhirnya Danone-Aqua datang sebagai peri yang baik hati dengan tawaran biaya produksi. Alasannya, karena tujuan Eugene dan Aqua ini hampir sama, menyehatkan, membuat masyarakat Indonesia sehat lahir juga batin, begitu kata mbak-mbak manajer Aqua.

Keuntungan film ini, kata Eugene akan dipersembahkan untuk anak-anak penderita kanker di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI). Sejumlah artis senior seperti Nina Tamam, Dony Alamsyah, Agus Kuncoro dan Iwuk Tamam juga rela tak dibayar sebagai wujud dukungannya untuk donasi ini.

Apa yang terbayang saat pertama kali membaca judul film ini? Kalau saya sih, sudah kebayang: ini pasti jalan ceritanya nggak biasa. Atau mungkin yang kebayang malah pertanyaan: setinggi tanah? Iyo. Bagaimana tidak bertanya, setinggi apakah yang ada di bayangan jika tanah yang digunakan sebagai acuan. Ketika kebanyakan orang meminjam kata langit untuk mengikuti kata setinggi, film ini justru memilih tanah untuk mengikutinya, bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan. Film ini berusaha meyakinkan semua yang menonton. Cita-cita, bukan soal pencapaian yang maha tinggi lagi akbar tetapi tentang usaha mewujudkannya.

Dan film ini bercerita tentang itu.

 
Gambar diambil tanpa ijin dari sini

Agus, lakon dalam film ini, berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja di pabrik tahu. Ibunya, ibu rumah tangga yang mahir membuat tahu bacem. Tentu saja, ini membuat Agus bosan sekali dengan tahu bacem.

Cerita ini berawal dari tugas ibu guru kepada murid-murid, termasuk Agus, untuk membuat karangan tentang sebuah cita-cita.

Teman-teman Agus memiliki cita-cita yang kata anak seusianya adalah cita-cita yang keren. Sri, ingin menjadi artis terkenal. Ia selalu ingin dipanggil dengan nama Mey, menurutnya nama Sri tidak menjual. Jono, bercita-cita menjadi tentara. Dalam kesehariannya, ia bertingkah layaknya pimpinan di hadapan teman-temannya. Jono, selalu ingin jadi ketua kelas dan memang selalu menjadi ketua kelas. Puji, memiliki cita-cita membahagiakan orang lain. Ia selalu membantu semua orang yang terlihat membutuhkan bantuan. Namun di balik itu, ia hanya mengharapkan sanjung dan puji dari orang lain.

Sementara itu, Agus yang setiap hari makan tahu bacem buatan ibunya, bercita-cita ingin makan di restoran Padang. Ya, hanya itu. Karena cita-citanya, Agus menjadi bahan tertawaan teman-teman sekelasnya.

Tak cukup dibuat geli dengan cita-cita Agus, emosi penonton lalu akan diobrak-abrik, antara kekonyolan dan keharuan tokoh-tokohnya. Penonton, juga diingatkan betapa setiap hari--waktu kita kecil atau bahkan sekarang pun--cita-cita itu selalu berubah. Lewat cita-cita Agus, kita akan dituntun menemukan sebuah perwujudan, cita-cita yang bukan hanya cita-cita. Naskah film ini ditulis oleh Ony, kata dia, ini merupakan pertama kalinya ia menulis naskah film. Sebelumnya, ia menulis script untuk iklan.

"Punya cita-cita setinggi langit itu biasa, punya cita-cita berguna itu juga biasa, punya cita-cita yang mulia juga bukan hal yang luar biasa. Punya cita-ccita yang tak terdengar seperti cita-cita, dan berjuang untuk mewujudkannya, itu baru luar biasa."

Film ini juga menjadi semakin kaya karena setting yang memperkuat rasa cerita. Muntilan, Jawa Tengah menjadi destinasi sang sutradara untuk membingkai karyanya. Sejumlah sudut yang diambil cukup menceritakan banyak hal. Mulai dari jalanan Muntilan yang berkelok, gang sempit hingga adegan petani yang sedang bekerja di sawah. Tak hanya itu, lagu yang dibuat Endah dan Rhesa terasa pas betul mengiringi tiap adegan dan suasana dalam film.

Nah, bagaimana keharuan dibungkus dalam keriangan anak-anak mewujudkan cita-citanya akan ditemukan dalam film ini. Film ini rencananya akan diputar di 21 Cineplex dan Blitzmegaplex di seluruh Indonesia mulai 11 Oktober 2012. Hari ini, jangan lewatkan. (=

Ijinkan saya menutupnya dengan sepenggal kalimat milik Goenawan Mohammad:

“... harapan jangan-jangan bermula dari sikap yang tak mengeluh pada batas"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.