Rasa Nomor 86
Kekerasan yang diterima buruh migran di Saudi Arabia, kata teman
saya, nyaris tak tersentuh oleh
Pemerintah negara kita. Dari
teman saya yang pernah ke sana, Saudi Arabia, cerita itu mengalir. Buruh Migran yang ada di sana,
utamanya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sama sekali tidak mendapatkan akses keluar.
Satu-satunya akses mereka adalah buruh Indonesia yang bekerja sebagai supir di sana. Supir-supir itu
bebas bergerak karena pekerjaan mereka. Lewat supir, para buruh mengirim uang untuk keluarga atau kadang
si sopir menjadi tukang pos penyampai pesan buruh-buruh di sana.
Setelah sampai di Arab, dokumen
mereka (Buruh migran) ditahan oleh majikannya, sehingga mereka mau tak mau tak
bisa kabur, keluar dari negara itu. Pilihan mereka hanya dua, kabur dengan
nasib tak jelas alias luntang-lantung atau tetap tinggal dengan penyiksaan
majikan. Beberapa orang memilih kabur, tapi tetap saja tak bisa keluar dari
Arab. Karena tak satu pun dokumen identitas yang mereka punya. Akhirnya, mereka terpaksa sembunyi di
kantung-kantung ilegal buruh migran. Menunggu pemutihan dari pemerintah
setempat.
Pemutihan adalah pemulangan buruh
migran ke negara asal dengan memasukkan mereka terlebih dahulu ke penjara.
Sampai tiba waktu pemulangan mereka. Saat bertanya dengan mantan buruh migran,
kenapa tidak lapor ke KBRI? Jawabannya:
“Mereka kasih dua pilihan, mau
balik ke majikan atau pulang. Kalau mau pulang, punya uang berapa?”
Akhirnya, penampungan ilegal adalah
satu-satunya tempat nyaman bagi mereka. Jadi, sebenarnya di mana peran negara ketika mengirim tenaga kerja
Indonesia ke negara itu? Teman saya yang lain bilang, kita tidak bisa
terus-terusan menyalahkan negara, karena kita juga tidak tahu posisi
pemerintah.
Saya lagi-lagi nggak paham, jadi
yang sudah memutuskan untuk berangkat menjadi TKI atau TKW harus menanggung
semuanya sendirian? Begitu?
Dan teman saya, malam itu,
menjadikan profesi TKW dan TKI sebagai bahan lawakan. Di sebuah tempat makan--pondok
anindi--, kami berkumpul, bertukar cerita. Ketika tiba giliran salah seorang
teman yang akan ke berangkat ke luar negeri untuk presentasi sebuah jurnal atau
karya tulis, saya tak paham. Menanggapi itu, teman saya yang lain menyahut:
“Jangan-jangan kamu nanti
jauh-jauh ke sana mainannya sama TKI.”
Tawa meledak. Saya lupa rincian
percakapannya, yang jelas setelah mengikutsertakan TKI-TKW, tawa riuh terdengar
dari meja kami. Entah bagaian mananya yang lucu. Jawaban itu seakan mewajibkan
semuanya untuk tertawa lepas, membahagiakan perasaan orang yang mendengar malam
itu. Saya, tidak bisa apa-apa, saya hanya bisa diam dan mengingat bagaimana
mereka menanggung mala atas pilihan pekerjaannya. Namun orang lain, yang tidak
tahu bagaimana sakit dan keras perjuangan itu, menertawakan mereka. Apakah
benar, untuk menjadi peduli harus terlebih dulu mengalami. Saya pikir tidak.
Ngg.. Gimana ya, kalo mnurutku sih mereka yg ketawa ini ga bermaksud mengejek si tki ka. Tp mindset di negara kt ini jg udh terlanjur menomorsekiankan derajat tki. ga ush tki, profesi pembantu yg kerja di dlm negri aja kayaknya dipandang sebelah mata bgt.
BalasHapusAkupun kl ada di anindi wkt itu bakal ikut ketawa apalagi kl blom bc postinganmu sebelum ini. Jd mnurutku mulai disosialisasikan aja biar topik tki ini ternyata topik sensitip dan sebaiknya ga dijadikan jokes. Sama kayak 'autis' aja sih mnurutku.
Btw, maap ya kl sotoy dan memberi pendapat tanpa diminta. ;)
iya itu, pandangan negatif di tengah kita udah kadung begitu sen.. emg gak hnya TKI, bener, autis juga, orang gila juga. dan mgkn banyak lg. Krn uda trlanjur, mmg sudah melekat bgt stigma itu, butuh wktu lama mengedukasinya, katanya sih gt. klo uda tau gini sih, aku lebih nyoba memposisikan "seandainya aku".. ya sdikit2.. hehe
Hapuskrn mgkn jg aku prnh ngobrol sm mereka kali ya. kata mereka, org2 gak bakal tau apa yg mereka rasakan, orang2 mungkin harus mengalami dulu utk bisa ngerti dan menghargai.. hehe.. mbuh lah.. aku aja yg sensitipp.. hihi :b