Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Rasa 110

SORE, kesyahduan dan liriknya yang ajaib semalam membawa saya ke sebuah masa yang juga ajaib. Saya menyadari satu hal: berjarak dengan beberapa sahabat. Rutinitas kerapkali menyebalkan. Bahkan untuk mengirim pesan pendek saja saya tak pernah menyempatkan. Ini mungkin yang membuat hubungan personal saya tak begitu dalam dengan sejumlah sahabat, sering kandas di tengah jalan. Tidak bisa menjalin keintiman yang langgeng. Kemudian kok pikiran saya ke arah pernikahan ya? gimana nanti kalau sama bojo? Baiklah skip. Nanti kan bojo saya takkan habis dimaknai hingga bertahun-tahun lamanya, karena saking rumitnya, jadi takkan bosan. Aduh ik, please. Okei balik lagi ke masalah jarak. Iya, saya baru menyadarinya, gila. Padahal saya nggak sesibuk Agnes Monica yang harus latihan dance dan vokal, tapi kenapa oh kenapa untuk bertanya kabar ke teman saja susah. Oh damn ika damn. Apa karena sudah ada sosial media? Ih, ika, kamu tidak bisa menyalahkan itu sosial media. Atau mungkin saya harus ...

Rasa 109

Pada Jumat siang yang gerah, saya dan kawan saya jalan-jalan ke luar tempat memburuh kami, menghabiskan jam istirahat, makan siang tepatnya. Seperti biasa, kami bingung memilih menu makan. Tak hanya dengannya, dengan siapapun, sepertinya kebingungan yang saya rasa selalu sama: memilih menu makan. Hingga akhirnya kami memutuskan makan di tempat yang tak penuh, sekaligus sesuai dengan selera kami. Oh iya, sebenarnya kami ingin makan di Bakmi Pak Min—sebuah tempat makan yang menyediakan tak hanya bakmi tapi juga masakan lain dengan khas rasa bumbunya yang lekat--, namun karena tempat itu selalu penuh, maka jadilah kami memilih tempat makan lain. Rejeki itu menjadi milik ibu-ibu penjual masakan Yogya. Kami makan di situ. Bukan makan gudeg. Saya pesan nasi goreng ikan asin dengan telor ceplok dipisah—tapi seperti biasa, tak boleh terlalu jauh karena LDR itu menyusahkan. Saya pesan nasi gorengnya dibuat pedas. Kawan saya memilih menu nasi pecel, dengan empal daging--daging sapi ya...

Rasa 108

Gambar
Teman Kursi Itu Dipotret Pagi Hari Tadi malam, saya mencoba duduk-duduk di kursi panjang yang diletakkan di sepanjang trotoar di sejumlah jalan utama ibukota. Kursi itu, sama seperti kursi-kursi lain, barangkali tujuannya, sebagai tempat singgah. Sayang, saya tak pernah melihat kursi itu ramai digunakan. Mungkin saya luput. Tapi konon, pasangan muda mudi menggunakannya, hanya pada tengah malam hingga dini hari, untuk berbagi kasih—istilah mereka. Barangkali juga tenggelam, larut bahkan nyaris khusyu mencumbu pasangannya satu sama lain. Tapi poin yang ingin saya ceritakan bukan soal itu sih. Tadi malam. Saya mencoba duduk di kursi itu, kursi sepanjang tinggi tubuh saya. Kursi dengan sandaran dan kaki menempel pada paving trotoar, di kawasan Rasuna Said. Layaknya kursi-kursi lain, sebagai pelepas apa-apa, tempat menghempaskan, piranti istirahat, bersandar. Persis, saya memakainya untuk melepas, melepas lelah seharian. Sebenarnya tubuh saya tak lelah-lelah amat. Ruh saya mungkin...

Rasa Nomor 107

Hai. Lama saya tak bercerita. Hehe. Saya, dalam rentang dua tahun ini, kembali menemui Senin yang menyebalkan. Di tempat memburuh saya yang sebenarnya bukan tempat baru memburuh saya tapi menjadi baru—bingung kan?—Senin datang terlaaaaaampau menyebalkan. Sungguh. Padahal, pekerjaan baru saya yang juga tak baru-baru amat ini, sebenarnya tak terlalu menyebalkan. Membosankan sih memang. Ya sebetulnya masih sama, hanya saja cara dan jalan yang dilalui berbeda. Seperti saya hendak ke Sekolah Pandai Sekali, jika bulan-bulan sebelumnya saya naik kopaja dan lewat Jalan Teuku Umar, kali ini saya naik mikrolet dan lewat Jalan Cut Nyak Dien. Sama-sama menuju Sekolah Pandai Sekali, namun cara dan jalan yang saya lalui berbeda. Itu berimbas pada beda juga orang-orang dan apa-apa saja yang saya temu sepanjang jalan toh.  Memenuhi kemauan orang yang saya juga sebenarnya nggak paham apa maunya adalah sulit. Apakah saya tipe orang yang harus dikasih contoh terlebih dulu baru kemudian paham...

Rasa Nomor 106

Cincin yang melingkar di jari manis itu serupa jimat yang menjauhkannya dari wanita manapun, perempuan manapun, secantik apapun. Namun tidak untuk menjauhkannya dari saya. Sore itu, kami memulai percakapan, berdua. Di sebuah meja yang jauh dari hingar bingar panggung. Awalnya saya dan dia hanya sahabat yang saling membutuhkan. Ratusan kalimat dari mulut dengan telinga yang tak lelah mendengar keluh. Saya butuh didengar dan dia punya sepasang telinga. Pun sebaliknya, dia ingin meluapkan  gundahnya, sedang saya punya waktu luang untuk mendengarkan. Jadi kapan saja, saya bisa menjadi telinga dan dia bibirnya. Sedang di lain kapan lagi, saya akan menjadi bibir dan dia telinganya. Seiring usangnya jarum arloji yang berputar dengan tempo yang masih sama dari dulu hingga kini. Seiring dengan menuanya burung beo di sangkar Koh Afang. Seiring dengan sevel dan indomart yang menjamur. Kehidupannya mulai membosankan, itu rutuknya pada saya. Begitu juga dengan saya. Dan kami sama-sama ny...

Rasa Nomor 105

06 Agustus 2012. Percuma nggak sih sebenarnya saya nulis ide-ide saya kalau nantinya dalam rapat redaksi juga ide ini ditolak, atau dipertanyakan, mental sana-sini lalu ditolak. Saya kan enggak bisa membantah, menolak atau mengungkapkan dengan rinci dan gamblang. Saya juga belum (atau tidak ya) bisa menentukan isu apa yang seksi. Lebih sering saya menentukan, isu yang menurut saya menarik. Namun kawan saya pernah bilang, itu tergantung kamu gimana packagingnya. Bagaimana kamu membungkus isu itu sehingga berlaku global, layak diperhatikan dan penting untuk diketahui publik. Tinggal kamu cari dan tentukan angle terbaik. Idih, mana saya ngarti. Begini, masalahnya kebiasaan saya adalah saya nggak pede dan malu mengungkapkan pendapat di depan orang yang belum dekat dengan saya. Ya, salah saya. Salahkan saya dan rasa nggak pede saya. Tapi saya nggak tahu juga kenapa ada rasa nggak pede dan malu. Ya saya sih sebenarnya nggak mau kayak gini ya. Siapa sih manusia yang penggen jadi “nggak...

Rasa Nomor 104

Saya, enggak punya waktu buat sedih-sedihan atau mellow-melowan nggak jelas. Saya juga nggak punya banyak waktu untuk memikirkan, berapa duit yang harus saya sisihkan buat jalan-jalan. Lalu kota mana yang akan saya tuju untuk menghilangkan penat padatnya kerjaan. Saya, hanya punya waktu untuk memikirkan bagaimana hidup saya terus. Bagaimana cara berdiri setelah jatuh. Bagaimana mempuk-puk diri sendiri ketika nelangsa. Dan bagaimana mengusap air mata ketika tiba-tiba menetes tak sengaja. Namun kadang saya menyempatkan, mencuri sedikit buat hal yang sia-sia. Seperti diam saja, mengamati sosial media, membalasi satu per satu, curhat di ruang 140 karakter, dan banyak hal yang membuat orang lain tahu keadaan saya. Sebenarnya di balik itu semua, saya hanya pengen cerita, tapi nggak tahu ke siapa. Setiap kali bercerita, atau hendak memulai cerita, yang ada di hadapan saya hanya sepasang mata yang tiba-tiba punya penilaian terhadap saya, terhadap apa yang saya ceritakan. Lalu punya j...

Rasa Nomor 103

Tadi, dini hari sepulang memburuh, sekitar pukul 01.00, memasuki kamar pondokan saya yang rudin, mata saya langsung tertuju ke dinding sisi kanan. Di situ terpasang fotonya, di dekat jadwal rencana harian saya. Kemudian saya mulai bercerita, sedikit sih. “Besok (maksud saya 18 Juni) adik ujian, spmb, Pak.” Saya mencoba bercerita dengan istilah yang ia tahu—saat zaman saya ujian dulu ya SPMB. Sekarang namanya SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Entah berapa kali ujian masuk perguruan tinggi itu ganti nama. Tapi tetap saja, kualitas tak ada ubahnya, bahkan kadang memburuk. Kemudian saya melanjutkan, “Semoga adik bisa belajar lebih banyak dari aku.” Kalimat itu aku contoh dari kalimatmu. Kamu ingin aku belajar lebih banyak dari apa yang pernah kamu dapatkan dulu bukan? Itu saja. UK, 18 Juni 2013

Rasa Nomor 102

Apakah makhluk bernama lelaki memang memiliki sifat dasar tidak mau mengalah? Merasa lebih pintar dan menguasai perempuan. Pada dasarnya, lelaki juga manusia. Jadi pastinya kamu bisa salah, Kak. Tapi lelaki dan perempuan, memang bukan soal kalah atau menang. Sesuatu yang tidak adil kadang kala menimpa perempuan. Dianggap salah pada peristiwa pelecehan seksual. Dianggap tidak menjaga diri saat terjadi kekerasan di tengah perjalanan pulang pada sepertiga malam. Diminta tunduk dan menerima ketika ada larangan yang tak masuk akal. Diprotes mundur ketika mencoba menjadi alternatif komandan. *** Malam itu, perempuan dengan air mata tertahan memulai pembicaraan dengan lelaki penyesap rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya. Perempuan itu menyimpan lara, berharap seperti kemarau panjang yang kemudian terguyur hujan, perempuan itu menghampiri lelaki yang selalu ingin terlihat serius itu. Mengawali percakapan dengan sebuah kalimat: aku ingin bercerita. Lelaki itu menanggapi p...

Rasa Nomor 101

Katanya, hidup itu seperti permainan, urip kuwi koyo dolanan. Tapi kenapa beraat ya? Jika permainan, harusnya kan menyenangkan, meski kadang memang melelahkan. Jika memang hidup adalah permainan, saya harusnya bisa menjadi pemain yang ndak kagetan, dengan kejutan yang kerap hadir di tengah perjalanan. Tulisan ini, lagi-lagi masih curhatan. Saya bingung mau ngapain, terus saya curhat saja di sini. Katarsis? Mungkin iya. Curhatan saya ini memang tidak seperti curhatan Anne dalam buku diarynya yang berhasil merekam keadaan sosial di masanya. Kala itu, ia asyik sekali mengisahkan apa yang ia alami kepada Kitty—panggilan untuk diarynya—meski di tengah gelisah luar biasa akibat pembersihan warga Yahudi ketika Hitler masih berjaya. Anne, teman saya bilang, berhasil menjadikan diary sebagai medium untuk memundaki derita dan kecemasan, sekaligus menampakkan keriangan menghadapi hidup. Curhatan saya, tentu saja jauh dari itu. Kadang saya iri sama orang kayak gitu, riang dan b...

Rasa Nomor 100

Gusti, apa memang hidup itu perlu dikotak-kotakkkan? Yang baik mana yang buruk mana, yang beruntung mana dan yang nggak beruntung mana? Lalu buat apa? Buat surga dan neraka? Selain itu buat apa lagi, Gus? Saya perlu penjelasan yang baik itu yang seperti apa dan yang buruk itu yang bagaimana? Karena setiap yang hidup di bumi ini punya versinya sendiri-sendiri. Tapi kalau saya nggak suka sama kotak-kotakkan itu, boleh kan, Gus? Kotak-kotakkan itu bikin dada saya sesak. Seperti ada yang tertahan, bahkan kadang-kadang seperti ada yang tercabut tiba-tiba padahal sudah tertanam lama. Sakit, Gus. Saya jadi kepikiran, kalau kita cuma dianjurkan temenan sama orang-orang yang baik, yang membawa kita menjadi lebih baik, menyuguhkan kebenaran (dengan versinya).   Lalu yang buruk dan jahat seperti saya ini siapa dong temennya? Begini, Gus, mungkin saya GR, mungkin saja enggak. Tapi saya sedang merasa tidak dikonconi karena saya saya dikhawatirkan memperburuk. Dan akalu saya...