Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2011

Rasa Nomer 53

Kadang kata-kata terlampau picik untuk diungkapkan. Menjadi sebuah kebohongan. Mungkin kau berhenti memberiku harapan, memutuskan ikatan yang selama ini sudah rapi kita cipta. Untuk hari yang terhitung lama. Aku memakluminya, aku senang kau bisa mengambil keputusan. Hingga aku pun mengerti apa yang harus kulakukan. Berhenti. Dan mencari tahu bagaimana cara agar aku tak lagi memikirkanmu. Mengharapkanmu. * padahal nggak sedang kenapa-kenapa tapi pengen aja nulis begini. boleh dong :p

MUTEB.

Gambar
Mutty Ebtessam, Kenalkan, ia temanku. Nomer absen pertama, hidupnya di ibu kota yang dihuni banyak raga namun tanpa jiwa, hehe. Walaupun dia orang Jakarta, namun bapaknya asli jawa, Magelang. Muteb namanya, dia suka Jepang. Di awal-awal pertama kami masuk kuliah. Dia dan beberapa kawan yang suka Jepang sangat sering datang bersama menghadiri festival yang diselenggarakan sejumlah organisasi Jepang. Kalau tidak salah. Si kechil, panggilan kesayanganku padanya. Dia punya kucing kesayangan juga, namanya Chemot. Dan meninggal ketika kami tingkat 5 (kalau tidak salah ingat.). muteb mengabarkan berpulangnya kucingnya via sms, dan aku tentu saja mengirim sms belasungkawa padanya. Hehe. Tampak kehilangan yang sangat dari air mukanya. Muteb sangat sayang dengan chemot (= Muteb adalah salah satu penggerak wanita di angkatan kami. Kinerjanya dalam berorganisasi dan perencanaan sebuah acara tidak usah diragukan lagi. Semangatnya bisa setara dengan ibu kartini lah dalam memperjuangkan acara yang d...

Proyek Teng-Tong Family!

Gambar
Setiap orang punya proyek menulis dalam hidupnya, termasuk aku. ketika blogwalking , aku menemukan sebuah program #30harimenulis. Jujur, aku tertarik namun tak berminat mengikutinya. Karena aku menulis masih dengan mood , kadang-kadang mau dan kadang-kadang tidak. Namun lebih banyak tidaknya. Dulu, aku pernah mencoba menulis buku harian, namun hanya bertahan hingga beberapa lembar saja dan setelahnya berhenti. Ketika smp dan sma, aku masih sangat rajin menulis pada buku harian, setiap malam sebelum tidur, aku mengingat-ingat apa yang istimewa hari ini, atau apa saja yang sudah kulakukan hari ini. Namun ketika masuk kuliah, kebiasaanku ini terhenti, aku tak tahu sebabnya dan tak mencari tahu pula. Hiii. Menulis buku harian menjadi penting sebenarnya, sederhana saja. Ketika kita sudah lewat hari-hari yang lalu, tidak menutup kemungkinan kita akan lupa kejadian-kejadian yang terangkai di dalamnya. Buku harian membantu kita menyusunnya. Karena terkadang proses berlangsung begitu cepat,...

Rasa Nomer 52

Gambar
(Gambar diambil dari sini lhoo.) Bulan separuh. Di antara subuh kita berjalan, berdua. Sadar akan jarak yang kita tempuh. Melewati loron g , semacam gang yang temaram. Kau bilang yang kuning rumah Pak RT dan yang putih adalah rumah Pak RW. Aku bertanya, “Apa kau mengunjungi Pak RW juga?” “Ketika itu?” Kau balik t anya dan melanjutkan dengan kata “Ya.” Dua hari yang lalu, kita masih bersama. Ada rencana ada pula nyata. Segala tak dapat diterka sebelum atau sesudahnya. Siapa yang sangka kini kita tak lagi bersama. [ Pondok Reisya, 24 Juli 2011 ] *ini bukan puisi lohh. ini cerita aja ;p

Rasa Nomer 51

Gambar
(Gambar kereta dan stasiun dicomot dari sini ) Mencintaimu, mungkin seperti menaiki kereta listrik kelas ekonomi. Menunggu kereta menyinggahi setiap stasiun yg dilewati. Sejenak atau kadang lama menjaga henti. Sedang aku, tetap menunggu waktu hingga kereta mengantarku sampai ke tempat yg hendak ku-tuju, memang tak pasti kapan akan tiba namun pasti akan sampai. Entah dua jam setengah, atau sampai tiga jam, atau lebih. kini aku takut, aku tak lagi telat sampai namun malah tak akan sampai ke sesuatu yg ingin aku tuju. Wajar bukan ketakutanku, karena bkn hanya aku yg menunggu dan menuju. Selalu ada yg seperti aku di setiap stasiun yg menghentikan lajumu.

Rasa Nomer 50

Gambar
Siang ini aku menunggu pesan pendek darimu. Balasan dari apa yang aku kirim pagi tadi. Mungkin kau sedang sibuk, mungkin juga pesanku tidak masuk, namun aku tetap menunggu. Karena kebiasaanmu adalah selalu membalas pesan pendek, dari siapapun. Hingga sore, dan hingga malam jatuh di ujung dahiku. Tak ada jua pesan pendek darimu. Aku tak mau berpikir macam-macam, kuanggap kau lupa. Wajar, manusia. Namun janjiku dalam hati sudah terlanjur terpatri. Bahwa aku mengetuk hanya sekali, jika kau tak menjawab. Maka aku akan pergi, mungkin tak ada orang di rumahmu, atau kau sedang tak mau disinggahi. Maka kuputuskan untuk tidak bertamu lagi. Jujur. Hingga kini aku menunggu, menunggumu untuk mengetuk pintuku. Namun kau terlalu sibuk dengan waktu dan tamu, atau mungkin pula gengsi. Dan kita sama-sama habis ditelan gengsi. Andai saja salah satu dari kita ada yang mau mengalah dengan diri sendiri, melawan gengsi. Namun ternyata tidak. Aku pun tak mau, aku sudah mengetuk. Kini giliranmu, dan aku hanya...