Rasa Nomer 49

Entol Hikmat Khalifatud Dien...

.Hikmat dan Kakaknya (Aaf).

(Gambar diambil dari fesbuk Hikmat a.k.a Chimotz Gilbert Rockn'tolz tanpa ijin, hehe :p)

Seperti namanya, seorang Hikmat dengan bijak dan pandai memperlakukan musik. Membawa musik masuk dalam kehidupannya. Musik, seperti anak, ia rawat dan selalu ia jaga, tak lupa ia memberikan kasih sayang dan cinta hingga kini musik kian sehat tumbuh dan berkembang. Kesebut yang ia tawarkan itu sebagai sebuah kesederhanaan. Dan untuk membangun sebuah kesederhanaan itu begitu rumit. Heu.

Hikmat meyakini musik jauh di dalam hatinya. Mencoba mengimani musik dengan caranya. Ia meletakkan keimanan itu pada komposisi yang ia cipta. Ia belajar dan bermain dengan nada-nada, indah. Tentu saja ada yang lebih indah yang ia yakini menjadi awal mula terciptanya sebuah nada, Tuhan. Sebuah usaha mengimani Tuhan melalui nada. Hingga akhirnya tercipta komposisi yang dijadikan sebagai tajuk pada sebuah pementasan tunggalnya “ Sacrifice for My God”.

Seperti seorang teman, musik hidup dan selalu ada di hati kita masing-masing. Mungkin begitu pun yang dirasakan oleh seorang Hikmat, salah seorang penggiat seni di komunitasku (wahana telisik seni & sastra) yang menggelar konser tunggalnya pada hari Rabu, 22 Juni 2011 lalu. Di Ruang Pinus 2 Fakultas Pertanian IPB delapan komposisi ia bawakan bersama Biolinis : Esa, Gitaris : Wahyu dan Perkusi : Andi. Ada Finger dance, Your Smile, Sacrifice for My God, Kelinci Madu, Balada reruntuhan Rimba, Caka daaaan Vive la Cass. Lima judul yang kusebutkan di awal adalah komposisi ciptaan Hikmat. Masing-masing komposisi yang ia bawakan menawarkan beragam cerita.

Ketika pertunjukan musik berlangsung, eng.. kadang suara biolin dan gitar terdengar kuang pas. Mungkin kurang latian, karena Hikmat baru bertemu dengan Esa di hari H pertunjukan (kalau tidak salah). Seperti kurang ada kontak batin antara mereka berdua, hihi. Tapi terlepas dari ketidakpas-an suara biolin dengan gitar, nada yang diperdengarkan membuatku tersenyum. Ada yang malam itu menyentuhku secara personal, mungkin ini yang disebut kesan dari sebuah karya tanpa harus mengerti terlebih dahulu pesannya. Tanpa harus mengerti terlebih dahulu "maunya" sang pembuat karya, aku spontan saja senyum-senyum dan menikmatinya. Begitulah kesan.

Masing-masing orang memiliki tafsir terhadap sebuah karya, Hikmat membawakan nada entah mayor entah minor, aku juga tak begitu mengerti. Yang kumengerti adalah komposisi yang dibawakan memiliki rasa yang berbeda-beda ketika diterima, itu pasti. Inilah mengapa sebuah karya selalu menjadi kaya. Karena makna tidak hanya dimiliki oleh yang berkarya namun juga yang menikmati karya. Tak ada yang salah dalam sebuah karya, tak ada yang salah dalam bermusik. Aku mencoba meringkas kalimat yang berulangkali diucapkan dari mulut Hikmat. Ada yang berkomentar, Hikmat berusaha mengingkari pakem yang biasanya ada untuk menciptakan sebuah rangkaian nada, tapi lagi-lagiiii... aku juga tak sepenuhnya mengerti. Yang kumengerti, malam itu Hikmat bercerita lewat nada.


Awalnya aku hanya menyukai Your Smile, saat pertama kali Your Smile dimainkan aku langsung senyum-senyum sendiri. Mendengarkan your smile seperti menjadi yang istimewa, seperti ada yang membawakan lagu ini khusus untukku, padahal ya tidak. Hihi. Itu hanya kesan saja :p kemudian ternyata ketika Hikmat membawakan komposisi yang berjudul Kelinci Madu, aku juga sukaaaa!!! Ketika mendengarkannya, hatiku melompat-lompat. lagu ini seperti bercerita tentang seorang gadis yang centil, lincah, lucu, dan menarik hati si pembuat karya, hihiihi. Ciee. Mendengarkan lagu ini, seperti menikmati perjalanan dari seorang gadis, memperhatikan lakunya sehari-hari yang meng-ge-mas-kan.

Lain lagi dengan ketika dibawakan Balada Reruntuhan Rimba, petikan-petikan yang dicipta cukup menyeramkan. Entah terpengaruh dengan judulnya atau memang suasana yang tercipta itu suram, aku nggak cukup mengerti. Yang jelas, petikan-petikannya itu menggambarkan kegelisahan dan kecemasan akan sesuatu. Tapi di menit 03.01 seperti ada penyesalan gitu kalo menurutku, atau mungkin perenungan dengan segala yang sudah terjadi. Mirip seperti nada kontemplasi, tapi setelahnya dibikin lagi deh itu macem nada kebimbangan. Huhh. Lain lagi di menit 4.12 entah itu menuju ending atau gimana ya, jadi nada-nada yang dibuat itu seperti mengantarkan kita pada suatu akhir. Mungkin komposisi balada reruntuhan rimba ini merupakan sebuah perjalanan yang composer rasakan tentang kenyataan sebuah rimba. Atau bisa jadi sebuah proses kegelisahan yang mengentah :p

Aku tak mengerti sama sekali tentang irama, ritme atau teori musik jenis apapun, di sini aku menempatkan diriku sebagai penikmat yang bener-bener nggak ngerti apa-apa. Hmm, tidak lebih, aku juga belum baca literasi mengenai musik, jadi yaaaa nggak bisa banyak komentar ini-itu yang berisi :p


(Ini dia, Hikmat alias Chimottt. Sudah tidak single loh :p)

Dan.... terakhir, ada yang memeluk erat Hikmat di akhir pertunjukan, tepuk tangan dan gulungan senyum dari para penonton. Usai pertunjukan, musik Hikmat menggandeng erat para penikmat mengiringi mereka pulang ke rumah masing-masing. Semoga yang menonton pulang dengan membawa buah tangan untuk dibagi dengan kawan atau siapa saja. Dan Hikmat, pulang dengan benih yang kelak akan tumbuh menjadi pohon yang besar dan mampu menaungi siapa saja dengan nada (=

Oya, di bulan Ramadhan nanti rencananya akan ada pertunjukan musik serupa oleh Mas Moh, itu juga jika Tuhan menghendaki Rassa (Ruang Apresiasi Seni dan Sastra) Ramadahan terlaksana lhoo. Semoga ramadhan menjadi lebih teduh lewat nada dari Wahana Telisik Seni dan Sastra (wts). Yeee. Selain ngaji bolehlaa yaa sikit-sikit bernada kita. Semoga wts dan rassa panjang umur serta mulia. Hihi. Amiinnn.


*)Ini tulisan akhir Juni. Maaf ah kalau geje dan tidak ada artinya. Aku mah cuma nulis sesuka aku aja, menulis apa yang aku rasakan. Yahhh, inilah curhatanku. Hihihoooo :p

untuk melihat videonya, sila kunjungi Blog teman saya Reza Ardiansyah di sini.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.